Berlin (metroraya) - Di utara Ibukota Jerman, Berlin, sebuah
perusahaan teknologi tinggi, SolarKiosk Ltd., tengah mengembangkan model
bisnis baru yang melibatkan matahari sebagai sumber energi terbarukan.
“Ide yang kami usung sederhana. Kami ingin masyarakat, terutama di Afrika, bisa mengembangkan bisnis swadaya,” ujar Manajer Pemasaran SolarKiosk, Sasha Kolopic. Berbisnis seperti apa yang dimaksud Sasha?
Di tengah era pemanasan global dan perubahan iklim seperti saat ini, sumber energi alternatif yang terbarukan menjadi fokus sejumlah pihak. Salah satunya, Jerman, yang amat getol melakukan riset dan pengembangan di sumber-sumber energi terbarukan.
Matahari atau surya (solar energy) adalah salah satunya. Hal inilah yang ditawarkan SolarKiosk. Perusahaan ini membangun kios bertenaga surya yang kemudian disebar di Afrika. Saat ini, SolarKiosk baru memiliki tujuh prototip.
SolarKiosk menyebarkan prototip itu ke negara pertama di Benua Hitam yang mereka sasar, Ethiopia. “Kami juga hendak mencoba penetrasi ke Tanzania, Madagaskar, Kenya, Lesotho, Namibia dan Zambia,” lanjut Sasha.
SolarKiosk mengincar negara dengan sinar matahari yang konstan, namun tak memiliki akses ke panel tenaga surya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan tersebut. “Sebab, sinar matahari masih gratis,” katanya.
Kios ini nantinya ditawarkan kepada pengguna yang hendak berniaga dan membuka bisnisnya seperti berjualan suratkabar atau kedai makanan. Pengguna juga bisa menawarkan pengisian baterai lampu atau ponsel kepada pelanggan, dengan tarif tertentu.
Tenaga surya dikumpulkan sepanjang hari, sehingga kios ini bisa tetap beroperasi di malam hari dengan daya satu hingga empat kilowatt pada puncaknya. Baterai di kios solar berdaya tahan sekitar tiga hari, seandainya sinar matahari sulit diperoleh.
Sasha cukup percaya diri dengan kios solar ini, meski SolarKiosk baru menyebar prototip dan berencana mulai produksi per 2013. Itupun jika sejumlah target seperti animo masyarakat dan investor yang tertarik mendanai, tercapai.
“Kami memiliki investor yang tak bisa disebutkan namanya, tapi kios solar ini memang mahal. Namun semakin banyak dibuat, tentunya semakin murah,” ujar Sasha, menyatakan setidaknya 10 ribu euro telah digelontorkan untuk membuat kios pertama, 2010 lalu.
Sayangnya, SolarKiosk hanya tampak seperti niat baik untuk mencari solusi masalah perubahan iklim yang sedang dihadapi seluruh dunia. SolarKiosk belum benar-benar siap menjadi salah satu model bisnis canggih dan ramah lingkungan.
Selain baru membuat tujuh prototip, SolarKiosk juga sedang gerilya mencari pendana di kawasan Afrika yang sebagian besar masih skeptis dengan sumber energi terbarukan. Sasha juga mengakui, mereka masih mencari pasar untuk menjual kios solar ini.
Mahalnya infrastruktur untuk menangkap dan menampung tenaga surya, seperti panel dan baterai, juga menjadi hambatan mereka. Panel dan baterai memiliki masa hidup, serta biaya yang dikeluarkan untuk menggantinya tak murah.
SolarKiosk juga tak mampu memberi contoh kisah sukses penggunaan kios tersebut. Selain itu, SolarKiosk hanya semata-mata menjual kios, menyerahkan kotak berteknologi canggih itu ke pengguna Afrika yang kemungkinan besar belum secanggih ilmuwan Jerman. (pr)
“Ide yang kami usung sederhana. Kami ingin masyarakat, terutama di Afrika, bisa mengembangkan bisnis swadaya,” ujar Manajer Pemasaran SolarKiosk, Sasha Kolopic. Berbisnis seperti apa yang dimaksud Sasha?
Di tengah era pemanasan global dan perubahan iklim seperti saat ini, sumber energi alternatif yang terbarukan menjadi fokus sejumlah pihak. Salah satunya, Jerman, yang amat getol melakukan riset dan pengembangan di sumber-sumber energi terbarukan.
Matahari atau surya (solar energy) adalah salah satunya. Hal inilah yang ditawarkan SolarKiosk. Perusahaan ini membangun kios bertenaga surya yang kemudian disebar di Afrika. Saat ini, SolarKiosk baru memiliki tujuh prototip.
SolarKiosk menyebarkan prototip itu ke negara pertama di Benua Hitam yang mereka sasar, Ethiopia. “Kami juga hendak mencoba penetrasi ke Tanzania, Madagaskar, Kenya, Lesotho, Namibia dan Zambia,” lanjut Sasha.
SolarKiosk mengincar negara dengan sinar matahari yang konstan, namun tak memiliki akses ke panel tenaga surya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan tersebut. “Sebab, sinar matahari masih gratis,” katanya.
Kios ini nantinya ditawarkan kepada pengguna yang hendak berniaga dan membuka bisnisnya seperti berjualan suratkabar atau kedai makanan. Pengguna juga bisa menawarkan pengisian baterai lampu atau ponsel kepada pelanggan, dengan tarif tertentu.
Tenaga surya dikumpulkan sepanjang hari, sehingga kios ini bisa tetap beroperasi di malam hari dengan daya satu hingga empat kilowatt pada puncaknya. Baterai di kios solar berdaya tahan sekitar tiga hari, seandainya sinar matahari sulit diperoleh.
Sasha cukup percaya diri dengan kios solar ini, meski SolarKiosk baru menyebar prototip dan berencana mulai produksi per 2013. Itupun jika sejumlah target seperti animo masyarakat dan investor yang tertarik mendanai, tercapai.
“Kami memiliki investor yang tak bisa disebutkan namanya, tapi kios solar ini memang mahal. Namun semakin banyak dibuat, tentunya semakin murah,” ujar Sasha, menyatakan setidaknya 10 ribu euro telah digelontorkan untuk membuat kios pertama, 2010 lalu.
Sayangnya, SolarKiosk hanya tampak seperti niat baik untuk mencari solusi masalah perubahan iklim yang sedang dihadapi seluruh dunia. SolarKiosk belum benar-benar siap menjadi salah satu model bisnis canggih dan ramah lingkungan.
Selain baru membuat tujuh prototip, SolarKiosk juga sedang gerilya mencari pendana di kawasan Afrika yang sebagian besar masih skeptis dengan sumber energi terbarukan. Sasha juga mengakui, mereka masih mencari pasar untuk menjual kios solar ini.
Mahalnya infrastruktur untuk menangkap dan menampung tenaga surya, seperti panel dan baterai, juga menjadi hambatan mereka. Panel dan baterai memiliki masa hidup, serta biaya yang dikeluarkan untuk menggantinya tak murah.
SolarKiosk juga tak mampu memberi contoh kisah sukses penggunaan kios tersebut. Selain itu, SolarKiosk hanya semata-mata menjual kios, menyerahkan kotak berteknologi canggih itu ke pengguna Afrika yang kemungkinan besar belum secanggih ilmuwan Jerman. (pr)
Sumber : inilah.com